Waktu Tepat Tidak Harus Cepat

"Hiruk pikuk dunia memaksaku untuk menjadi seseorang yang tersegmentasi bekerja, mapan, menikah, punya anak, menikmati hari tua, dan meninggal.
Tipikal? Memang. Pola manusia modern harus seperti itu, jika ingin disebut normal."
—Catatan Juang, Fiersa Besari



Budaya menjalani kehidupan terasa lebih banyak tekanan, layaknya alur harus berjalan sesuai kondisi masyarakat pada umumnya. Lahir, mengalami bangku pendidikan, lulus, bekerja, menikah, punya anak, punya cucu dan menikmati hari tua, kemudian meninggal.

Sejalan dengan masalah waktunya. Peristiwa tersebut seakan harus juga sama dengan yang lain. Teman lulus, ia harus segera lulus. Disaat mereka sudah punya pekerjaan, ia pun melakukannya dengan penuh usaha dan mencoba bertahan meskipun tidak terlalu suka. Kemudian menikah juga ikut arus, tanpa tau apakah ia sudah siap menjalani untuk ke depannya. Terus seperti itu hingga alur kehidupannya bisa dimasukkan ke dalam ketegori masyarakat normal.

Waktu Tepat Tidak Harus Cepat

Lalu, bagaimana apabila mereka berada di posisi yang belum sepenuhnya bisa mencapai tahap yang sama dengan teman-temannya atau masih berada di tengah jalan? Haruskah kita membuat kategori new normal?

Mereka akan banyak mendapat tekanan dari berbagai sudut di lingkungannya, baik dari keluarga, teman, bahkan rekan kerja atau orang asing yang tidak tau bagaimana cerita keseluruhan hidupnya karena baru mengenal dalam waktu yang tidak lama.

Namun, tunggu, ada juga sebagian kecil orang yang tidak mau ikut dalam arus tersebut, dan mencoba tidak peduli dan memikirkan terlalu dalam tuntutan-tuntutan itu. Mereka yang mengerti tentang waktu tepat, dan mengetahui suatu peristiwa terjadi karena suatu alasan. Meskipun hal itu identik dengan seseorang yang idealis. Tapi mungkin saja, mereka yang terlihat idealis pun terkadang mendapatkan tekanan batin secara tiba-tiba.

Saya ingat, ada tulisan seorang teman yang bagus mengenai hal ini, dan ia mengijinkan saya untuk menyebarkannya. Berikut kutipannya:

Perbedaan Zona Waktu Manusia

Menurutnya, setiap orang memiliki zona waktunya masing-masing layaknya suatu kota atau tempat. Kita tidak pernah tau bagaimana diri kita di masa depan, semua tergantung dari usaha kita di masa kini. Meskipun demikian, jangan pernah merasa iri atau mencoba membujuk yang lain untuk segera mempercepat waktunya, karena setiap orang memiliki waktunya masing-masing dalam semua hal. Jangan sampai pada akhirnya kita menyesal.

Nilai kesuksesan untuk setiap orang pun berbeda-beda. Ada yang menilainya dari materi ataupun sudah berada di tahapan yang ia inginkan, atau mungkin kesuksesan baginya cukup merasa hidup sederhana dan merasa bahagia, serta bersyukur di setiap harinya.

Sejatinya, sampai sekarang tidak ada yang mengatakan secara tegas bahwa kesuksesan itu dengan lulus cepat, menikah muda, punya pekerjaan dengan gaji dua digit, punya kendaraan dan rumah, atau punya banyak gelar akademik. Tidak ada juga yang mengatakan apabila seseorang belum mencapai tahap tersebut diklasifikasikan sebagai yang tertinggal, karena tak jarang kita menemui beberapa orang yang mengalami nasib yang kurang baik di beberapa tahapan tersebut, seperti bercerai dalam waktu singkat, tidak merasa bahagia meskipun ia punya segalanya, dan sejenisnya.

Kemudian, kebetulan saya menemukan suatu percakapan dari film Intimate Strangers yang baru saya tonton dan cukup bisa dikaitkan dengan pembahasan ini.

              A:   Kau harus punya anak.
              B:   Kenapa?
              A:   Manusia menikah dan punya anak.
              B:   Jadi, jika aku menikah lalu bercerai dan tak punya anak, aku bukan manusia?
              A:   Aku sedang membicarakan masyarakat secara umum.
              B:   Hanya karena kebanyakan orang melakukannya, tidak berarti aku juga harus.

Jika dipikir-pikir kembali manusia kan memang diciptakan dengan berbeda, sekalipun itu saudara kembar. Pemikiran saja sudah banyak digalakan untuk tidak dididik terkotak-kotak. Membayangkannya saja seram jika semua makhluk di dunia memiliki nasib atau bahkan wajah yang sama.

Meskipun saya berkata demikian, memang agak sulit jauh dari hal atau pengaruh tersebut. Jujur, saya masih berusaha keras keluar dari pemikiran sendiri dengan penuh pembicaraan orang lain terhadap saya. Tapi, sudah cukuplah mengasihani diri sendiri dan membandingkannya dengan hidup orang lain, karena nantinya terkesan tidak bersyukur.

Mari menjadi diri yang lebih baik, bukan untuk lebih baik dari orang lain cukup untuk diri sendiri. Hal paling penting terus berusaha dan berdo'a dengan konsisten dan maksimal. Barangkali saja, kamu belum mencapai tahapan itu karena usaha dan do'anya masih kurang. Kita tidak pernah tau. Jangan juga berhenti, dan tidak lupa untuk selalu beristirahat dikala sudah sangat lelah.

Seperti yang pernah saya singgung di tulisan sebelumnya, Slow but Sure.
"Sepanjang jalan yang ditempuh tentu tidak cepat, namun bisa saja sangat lama, perjalanan tersebut disebut proses. Proses merupakan hal terpenting dalam mencapai suatu tujuan. Hasil akhir akan ditentukan dari seberapa baik proses itu dilakukan. Slow but Sure, pelan tapi pasti, mungkin salah satu pilihan yang tepat untuk menghadapinya. Bersikap pelan dan tenang namun yakin bisa menyelesaikannya dengan usaha yang keras."

Semoga kalian semua berada dalam keadaan baik-baik saja. Tetap jaga kesehatan.

Salam hangat,
Hanna Ridha 😊

4 komentar:

  1. Kuliah saya juga 7 tahun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak apa, semua punya waktunya masing-masing :)

      Hapus
  2. Seandainya enggak mau seperti kebanyakan manusia modern yang tertuntut harus lekas sukses pada usia muda, ya tinggal gimana menyikapi mulut-mulut jahat orang di sekitar itu.

    Saya pernah baca kisah seorang penulis yang karyanya baru terkenal dan dibaca banyak orang setelah dirinya meninggal. Itu zona waktunya berarti telat banget, ya? Dia enggak sempat mencicipi kegembiraan di dunia. Tapi semoga aja hal itu membuat sang penulis secara tak langsung menghibur, bahkan menolong, para pembacanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, diibaratkan karena kita hanya punya dua tangan, mending dipakai untuk menutup telinga saja dibanding digunakan untuk menindak mereka yang berbicara tentang kita.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.