Membangun Kesadaran Lingkungan dengan Diam & Dengarkan

Semenjak pandemik muncul, kondisi di masyarakat sudah terasa berbeda. Seiring berjalannya waktu masyarakat mulai kembali menjalankan aktivitasnya meski keadaanya tetap berbeda. Namun, ada juga mereka yang sudah merasa bodo amat dengan melonggarkan protokol. Kenyataannya apabila melihat dari angka, jumlah kasus di Indonesia semakin meningkat setiap harinya, dengan tingkat kematian paling tinggi dari perbandingan negara secara global.

Beberapa media sempat mengabarkan jika wabah ini ternyata secara tidak langsung dapat menyembuhkan bumi, terutama dari pengaruh yang dibuat oleh manusia seperti polusi udara dan jumlah sampah. Berdasarkan hal itu, sebagian besar orang melihat pengaruh yang sangat besar antara aktivitas manusia dengan keadaan bumi. Lalu bagaimana keadaan bumi setelah virus ini bisa disembuhkan atau dimusnahkan?

Kita tidak pernah tau.


Namun, sebuah film dokumenter “Diam & Dengarkan” mencoba menyadarkan sekaligus mengingatkan seluruh umat manusia di dunia. Film ini bukan sepenuhnya dibuat oleh salah satu pihak saja, tetapi merupakan hasil kolaborasi dari berbagai visual yang tersebar bebas di internet yang dikumpulkan oleh rumah produksi Anatman Pictures. Selain itu, penonton dibebaskan untuk mengunduh, memposting ulang, bahkan mengedit, karena mereka mengaku tidak akan mengambil keuntungan dari film tersebut dan menyebutnya sebagai karya kolektif umat manusia.


Tema yang diangkat mengenai isu lingkungan dengan enam bagian subtema yang juga merupakan serial Heal the World. Masing-masing bagian dibawakan oleh narator berbeda, yang dilakukan di rumah masing-masing, diantaranya Kiamat yang Tak Terhindarkan oleh Christine Hakim, Mens Sana in Corpore Sano oleh Dennis Adhiswara, Kerajaan Plastik oleh Arifin Putra, Air Sumber (gaya) Hidup oleh Eva Celia, Kehutanan Yang Maha Esa oleh Nadine Alexandra, dan Samudra Cinta oleh Andien Aisyah. Selain itu, beragam narasumber pun ditampilkan untuk mendukung topik yang dibahas, baik dari ilmuwan, seniman, pengusaha, pendidik, bahkan aktivis.

Film ini sudah bisa disaksikan secara bebas di kanal Youtube Anatman Pictures sejak dirilis pada 28 Juni 2020 lalu, bisa juga dengan menonton secara terpisah per bagiannya. Full movie-nya sendiri sudah disaksikan sekitar 1,5 juta kali per tanggal 15 Agustus 2020. Berkaitan dengan topik yang diangkat, sebenarnya tidak ada info/hal yang baru. Namun, sutradara Mahatma Putra menyampaikan film ini hanya berisi pengetahuan umum yang populer dan dikemas lebih sederhana agar mudah dipahami masyarakat, khususnya di Indonesia.

Saya sendiri berniat menonton karena direkomendasikan oleh seorang teman, karena saat pertama kali muncul di media sosial saya belum sempat tertarik untuk memutarnya dan kemudian terlupakan. Tetapi, setelah saya selesai menonton, diri cukup tertegun, benar-benar bisa diam dan mendengarkan, serta seakan ada tamparan batin yang kemudian tergugah melakukan hal lebih baik untuk bumi. Berikut beberapa informasi atau pesan yang ada dalam film tersebut.

1. Manusia Unik, tapi Tidak Istimewa
Sejatinya, bumi tempat kita berpijak sudah sejak lama terbentuk sebelum adanya peradaban manusia. Namun, kenyataannya manusia seakan merupakan spesies paling unggul dan berkuasa di bumi. Keadaan ini membuat kepunahan spesies meningkat bahkan spesies yang telah ada sebelumnya, lahan hijau pun hampir habis. Seringkali manusia dipenuhi oleh ambisi yang tidak akan pernah merasa cukup dan hanya memikirkan cara bertahan hidup untuk dirinya sendiri. Manusia tidak menyadari jika dirinya dibentuk juga dari bagian bumi, sama seperti spesies lainnya.


2. Kesehatan Mental dan Emosional adalah Pondasi Utama
Penyakit kronis dan psikosomatis sebenarnya banyak terkait dengan psikologis. Jika dikaitkan dengan keadaan pandemi seperti sekarang, masyarakat harus dapat menjaga dirinya sendiri dengan mengikuti protokol kesehatan, tetapi harus juga disertai dengan mental yang sehat, karena jika tidak, daya tahan tubuh tetap tidak terasa baik.

Saya ingat saat mendengar cerita dari rekan yang sempat tau dengan seseorang yang menjadi korban Covid-19. Melihat dari raga dan fisiknya ia terlihat baik-baik saja dan dapat bertahan, tetapi karena secara psikologis ia sudah dari awal menolak dan seakan sangat takut, sayangnya ia tidak bisa bertahan. Hal ini membenarkan pernyataan dalam film tersebut bahwa manusia sulit untuk beradaptasi dengan perubahan, dan menyetujui pepatah Romawi kuno "Mens Sana in Corpore Sano, Jiwa yang Sehat di dalam Tubuh yang Sehat."

3. Plastik untuk Menyelamatkan Lingkungan menjadi Polutan
Jarang banyak orang yang tau, jika sebenarnya plastik diciptakan untuk menyelamatkan bumi dari merebaknya penebangan pohon pada tahun 1959 oleh Sten Gustaf Thulin di Swedia. Namun, seiring berjalannya waktu manusia jugalah yang membuat plastik menjadi polutan, karena di zaman sekarang segala sesuatu dibuat dari plastik yang sifatnya susah terurai, di mana hanya 2 dari 9 jenis plastik yang bisa terurai, dan limbah tersebut bisa saja kembali melalui makanan kita lalu masuk peredaran darah.


Mungkin tidak ada manusia juga yang belum pernah pakai plastik. Hal ini tentu menjadi masalah utama di dunia, terutama Indonesia karena masyarakatnya lebih banyak menggunakan plastik sekali pakai (single use plastics). Mereka seringkali terlalu nyaman dan malas untuk menggunakannya berkali-kali. Dari sisi industri pun pengemasan produk tak terlepas dari plastik, terutama produk dengan ukuran yang lebih kecil, dipengaruhi dari kemampuan daya beli masyarakat Indonesia.

Permasalahan ini masih belum ada yang bisa menyelesaikannya secara tuntas. Meski sudah banyak kampanye larangan penggunaan kantong plastik, tapi penggunaan kantong kertas dan kain sebenarnya lebih buruk terhadap lingkungan karena membutuhkan lebih banyak energi dalam proses pembuatannya. Jika mau kita harus mencari pengganti plastik dengan sifat yang sama, kuat dan fleksibel tetapi lebih ramah lingkungan. Paling penting, kembali kepada perilaku manusianya masing-masing.

"Lebih baik mendaur ulang (recycle) daripada buang sampah sembarangan, kemudian lebih baik pakai ulang (reuse) daripada daur ulang yang membutuhkan proses terlebih dahulu, terakhir lebih baik mengurangi (reduce) dibandingkan pakai ulang."

4. Air di Bumi Jumlahnya Terbatas
Ini adalah bagian film yang paling informatif bagi saya, karena saya sendiri baru mengetahui beberapa hal. Air ternyata bukan berasal dari bumi, tapi berasal dari luar planet bumi, yaitu dari meteor/asteroid es bernama Carbonaceous Chondrite yang kaya akan H2O dan Karbon. Meteor ini terbentuk di luar batas leleh matahari, dan selama proses pembentukan bumi, meteor tersebut terus datang dan bertabrakan dengan bumi yang menciptakan keberadaan air di bumi. Namun, apabila dilihat dari lapisan bumi terluar, penampakan jumlah air memang lebih tipis dibandingkan dengan mantel dan inti bumi, sehingga jumlah air di bumi sangat terbatas terutama air tawar dan bersih.

Di tangan eksploitasi manusia, air tidak hanya menjadi sumber hidup dan sumber peradaban, tetapi berevolusi menjadi sumber energi, industri, agrikultur, rekreasi, bahkan gaya hidup. Kenyataannya, gaya hidup paling banyak mengambil jumlah air, di mana untuk memproduksi satu celana jeans dibutuhkan sekitar 6500 liter air, kaos katun 2700 liter air, sedangkan tubuh manusia hanya butuh 600 liter air untuk diminum per tahun. Hal ini sebanding pengaruhnya dengan limbah deterjen yang dihasilkan manusia.


Banyak yang tidak mengira, jika limbah sabun, deterjen atau skincare yang menghasilkan busa dapat mengganggu lingkungan. Bahkan, sebagian besar orang menilai semakin banyak busa semakin bagus dan bersih, tapi sebenarnya itu tidak sepenuhnya benar. Produk-produk tersebut mengandung Sodium Lauryl Sulfate (SLS) yang sifatnya sulit terurai, tetapi lebih dipilih karena harganya yang lebih murah dibandingkan bahan ramah lingkungan. Permasalahan ini ternyata sudah disinggung sejak 1984 tetapi sudah 36 tahun berlalu kita masih berada di titik yang sama bahkan lebih besar dampaknya.

5. Hutan, Paru-paru Dunia
Hutan adalah rumah bagi keragaman hayati (biodiversitas) atau berbagai jenis kehidupan di bumi, seperti udara yang kita hirup, air yang kita minum, bahkan makanan yang dikonsumsi semua bergantung dari biodiversitas. Nyatanya, hutan juga memiliki koneksi erat dengan patogen. Seringkali penggundulan hutan dilakukan demi membuat lahan agrikultur, tapi tanpa sadar patogen yang ada di dalamnya pun ikut keluar dan berbahaya bagi bukan penghuni hutan. Beberapa diantaranya berasal dari daerah perbatasan hutan yang digunduli, seperti virus HIV, Zika, Malaria, Ebola, Nipah.


Kita bisa ikut menjaga hutan, dengan mencoba dulu mengubah pola hidup, dengan memilih dan memilah produk makanan, sabun, sampo, hemat penggunaan kertas, mengurangi konsumsi daging, hemat listrik, bahkan bisa dengan cara sederhana mengurangi makan gorengan. Karena dari produk semua itu, terdapat jejak-jejak hasil penggundulan hutan untuk membangun lahan peternakan, minyak sawit, pertambangan batu bara, dan industri kayu.

6. Dengarkan Suara Hati
Mendengarkan suara hati memang terlihat mudah tetapi sulit untuk dilakukan, karena dipenuhi oleh berbagai pertimbangan terutama dari pihak luar. Filosofi diam dan dengarkan cocok dengan topik ini, dan kemudian bertindak apa yang seharusnya dilakukan.

Contoh paling umum yang dijabarkan dalam film ini adalah kebanyakan manusia beranggapan jika uang dapat menyelesaikan hampir semua masalah. Namun, anggapan ini dipatahkan oleh seseorang yang sejak kecil tumbuh di keluarga yang memiliki semuanya, yaitu Prajna Murdaya. Ia mengaku tidak pernah bahagia dan sulit untuk mengungkapkan kesedihannya karena teman-temannya menyuruhnya untuk bisa bahagia dan bersyukur, bahkan ia seringkali sakit dan terancam terkena sirosis dan kanker. "Uang hanya bisa membawa kebahagiaan pada level tertentu." Ia pun mengajak untuk lebih bisa mendengarkan suara hati yang telah berhasil membuatnya bahagia dengan membangun studio musik.

Selain permasalahan uang, dalam bagian ini dibahas bahwa sumber kebahagian manusia lebih banyak dihasilkan di sistem pencernaan yang berkaitan dengan konsumsi kita. Melihat dari data statistik yang dibuat oleh Hans Rosling, negara dibagi menjadi 4 level. Semakin banyak keragaman makanan, dan tingginya konsumsi energi dan protein, semakin tinggi level kesejahteraan manusianya, tetapi berbanding terbalik dengan kesejahteraan bumi. Melihat jejak karbon yang dihasilkan oleh proses konsumsi manusia, baik dari material ataupun makanan yang mana paling banyak dapat merusak lingkungan. Ya, kembali kepada usaha peternakan yang tidak hanya menghasilkan kerbon, tetapi juga gas metana yang dapat lebih banyak menahan panas dari bumi.


Sejujurnya saya sedih mendengarnya, karena saat kuliah diajarkan mengenai zero waste dari usaha tersebut. Namun, balik lagi dalam proses dan tindakan manusianya. Saya juga pernah bahas salah satu film dokumenter mengenai hal ini, yaitu Cowspiracy silahkan dibaca jika berkenan dengan klik di sini.

Yap itu dia beberapa topik yang sebagian besar dibahas di film dokumenter tersebut. Masih banyak hal-hal yang menarik lain sebenarnya. Tapi, teman-teman bisa menontonnya langsung secara lengkap ya, karena saya tau tulisan ini sudah kepanjangan :))

Oh iya, dari sini kita bisa belajar bahwa keadaan pandemi virus Covid-19 bisa membawa hikmah terutama untuk bumi bisa bernafas lega. Tapi, hal ini juga jangan dijadikan sebagai alat untuk membenarkan semua tindakan manusia yang tanpa sadar merusak lingkungan, mengingat 'toh bumi bisa menyembuhkan dirinya sendiri.' Big NO! Itu salah besar. Apalagi jika semua aktivitas sudah berjalan seperti semula, bisa saja bumi akan lebih terpuruk, mengingat manusia akan mencoba mengejar ketertinggalannya selama pandemi, karena dunia juga mengalami permasalahan ekonomi.

Film dokumenter ini selain mengajak untuk membangun kesadaran manusia secara kolektif untuk menjaga lingkungan, mereka juga mengajak untuk berkontribusi nyata bagi lingkungan melalui diamdengarkan.com, bahkan mereka merekomendasikan film dokumenter lain yang mengangkat isu lingkungan.

Akhir kata, setelah diam dan dengarkan, mari mengambil tindakan :)
Mari lebih peduli pada diri sendiri, peduli kepada sesama, dan peduli pada lingkungan. Kita sendirilah bumi itu.

7 komentar:

  1. Tapi seandainya manusia enggak ada, bukannya Bumi betulan bisa menyembuhkan dirinya sendiri, ya? Tetap lewat perantara Tuhan sih, sebelum Dia menghadirkan kiamat.

    Jelas enggak mungkin alam tiba-tiba rusak. Hewan enggak punya pikiran buat menebang pohon, membakar hutan, dan sebagainya demi suatu kepentingan, kan?

    Kalau berkacanya sama apa yang udah manusia lakukan sampai hari ini, pastilah sulit. Sudah teramat kacau. Manusia tentu harus punya andil buat memperbaikinya. Namun dalam kondisi pandemi pun saya terlalu pesimis. Okelah pada mulai beli sepeda dan gowes, tapi saya tetap melihat banyak kendaraan lewat video di medsos yang direkam netizen. Polusi berkurang saat wabah begini? Haha. Orang-orang justru berusaha menantang maut. Waktu 17-an pada nekat naik gunung sekalipun daftar pengunjungnya sudah membludak. Apanya yang jaga jarak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku setuju dengan pernyataan bumi akan menyembuhkan dirinya sendiri. Pikiran terabsurdku mengatakan, kita manusia yang sebenarnya virus bagi bumi ini. Karena sepertinya hewan dan tumbuhan tidak sebarbar kita ketika hidup di bumi. Bayangkan lahan hijau yang menjadi dasar kalau bumi adalah planet hijau, sekarang sudah dibabat dan berkurang ekosistemnya karena jumlah manusia yang bertambah seiring waktu.

      Hapus
    2. Masalahnya memang manusia yang membuat bumi lebih cepat terpuruk. Meskipun memang bumi bisa menyembuhkan sendiri dengan caranya. Kita tidak pernah tau bagaimana perkembangan bumi ke depannya, bisa saja kembali seperti semula saat bumi belum dihuni manusia dan belum adanya lahan hijau yang berlimpah, terlihat lebih kering dari sebelumnya.

      Hapus
  2. enggak tau deh
    rasanya banyak manusia yang tidak manusiawi

    gue baru denger ternyata air bukan berasal dari bumi

    sepertinya gue harus menonton video ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih banyak manusia yang belum sadar akan menjaga lingkungan, bagi dirinya sendiri sekalipun.

      Haha saya juga baru tau itu, masih harus banyak belajar 😅

      Hapus
  3. belum lama ini aku juga nonton film diam dan dengarkan, gila sih emg keren banget. berasa tertampar uy, huhuh
    sepakat banget, setelah diam dan dengarkan saatnya mengambil tindakan untuk lebih peduli dengan lingkungan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoi, cuma semoga tersebarnya dokumenter ini benar-benar bisa membuat mereka yang menontonnya segera mengambil tindakan. Tidak hanya dinikmati dan semangat di awalnya saja.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.